Kamis, 31 Juli 2025

Jika Diam adalah Bahasa..

jika diam adalah bahasa,
maka barangkali kita sedang berkata pada dunia, 
bahwa hati kita hampa,
bahwa luka bukan urusan kita,
bahwa nyawa hanya angka-angka.

jika diam adalah bahasa,
maka apakah kita sedang menuliskan dusta?
mengenakan selimut netral bernama pura-pura,
seolah langit tak mencatat suara,
seolah tangis dan doa tak menggetarkan Arsy-Nya.

jika diam adalah bahasa,
maka kita telah salah mengeja,
sebab diam bukan lagi jeda,
tapi keengganan untuk bersuara,
saat kebenaran menanti pembela.

sedang Rasul pernah bersabda,
"Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. jika tidak mampu, maka dengan lisannya. jika tidak mampu, maka dengan hatinya. dan itulah selemah-lemah iman."

maka jika diam adalah bahasa,
jangan biarkan ia menjelma dosa,
sebab di balik diam kita,
ada pejuang yang senantiasa berguguran menjadi para syuhada. 

dan jika diam adalah bahasa,
semoga itu bukan bahasa kita. 
biarlah kita memilih berkata, 
dengan doa, dengan suara, dengan pena. 
dengan sedekah yang tak henti mengalir
untuk saudara kita.

sebab jika kita tetap diam saja,
bukan mereka yang akan binasa. 
tapi kita,
kita lah yang akan binasa.

Naudzubillahimindzalik.

Anggi Restian Zahra
31 Juli 2025. 

Jika Rindu adalah Doa..

jika rindu adalah doa,
maka biarlah ia menjelma cahaya. 
tak bersuara, tak meminta nama,
menyusup sunyi, menyemai makna.

jika rindu adalah doa,
barangkali aku tak menemuimu di dunia,
namun kusampaikan lewat langit yang terbuka
pada Dia yang Maha Membaca,
meski tak sepatah kata pun kubicara.

jika rindu adalah doa,
maka biarkan menjadi rahasia,
yang kusemat dalam tiap jeda,
antara dzikir dan air mata,
antara harap dan takdir yang tak bisa diterka. 

jika rindu adalah doa,
maka aku belajar dari Nabi Ya’qub yang mulia,
saat kehilangan Nabi Yusuf sang cahaya,
namun tetap bersandar pada Yang Maha Esa,
dalam sabarnya yang membuncah doa, 
"Sesungguhnya hanya kepada Allah
kuadukan segala sedih dan lara."

jika rindu adalah doa,
maka takkan kuubahnya jadi kecewa,
sebab cinta yang tak berbalas fana,
tetap dapat menjadi pahala,
bila dititip pada Yang Maha Kuasa.

jika rindu adalah doa,
maka izinkan aku menjaga jeda,
menjadi sunyi yang setia,
yang mendoakanmu, tanpa kau menyangka.

Anggi Restian Zahra. 
Bandung, 31 Juli 2025.

Jika Senyum Adalah Dakwah..

Jika senyum adalah dakwah, 
Maka biarkan wajahmu menjadi risalah
yang tak ditulis pena dan tak diucap lidah,
namun sampai sebagai angin yang menyentuh jiwa-jiwa yang sedang lelah. 

Jika senyum adalah dakwah,
maka barangkali, kau tak perlu mimbar
untuk menjelaskan kasih.
Cukup satu lengkung ringan di sudut bibir
yang paling jujur dan paling bersih
Teruntai tanpa pamrih. 

Jika senyum adalah dakwah,
maka biarkan ia tumbuh di antara resah,
semaikan ia dalam setiap langkah,
sebagai cinta yang menjelma ibadah.

Sebagaimana sabda Rasulullah,
"Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah."

Maka tersenyumlah, 
Menjadi bagian dari sunnah,
membawa damai ke dunia yang penuh lelah.

“Janganlah engkau meremehkan kebaikan sekecil apa pun, meski hanya dengan bertemu saudaramu dengan wajah yang berseri-seri.”
(HR. Muslim No. 2626)

~Faritsul Mulatsam.

Sabtu, 26 Juli 2025

Sajadah Hijau.

Ingin kuingat peristiwa ini baik-baik. Sebagai pengingat, agar esok saat lelah kembali menyapa, aku tidak lagi buru-buru merasa berat… tapi justru mengucap,
"Alhamdulillah ya Allah, Engkau masih beri aku kesempatan untuk merasa lelah dalam kebaikan."

Malam tadi, sekitar pukul dua dini hari, aku baru tiba di rumah. Kulepas penat dengan wudhu dan sholat sejenak. Usai sholat, aku memilih beristirahat, hanya hingga suara azan subuh memanggil kembali. Di sela kantuk yang belum selesai, kubuka aplikasi pekerjaanku. Deretan tugas bertanda merah menyambut. Ada keinginan kuat untuk menundanya. Tapi sisi lain teringat… titipan umat. Maka, meski mata terasa berat, kugerakkan jari dan menuntaskannya satu per satu.

Pagi itu aku harus bersiap. Sidang komprehensif prodi di kampus menantiku. Bergegas kukenakan pakaian, melangkah dengan hati yang digerakkan doa. Setibanya di kampus, sidang dimulai. Kudengar kabar dari teman-teman, pertanyaannya sulit, katanya, banyak yang tak sesuai ekspektasi. Tapi, ketika giliranku tiba, yang kurasa segala jawaban mengalir saja. Allah memudahkan, Alhamdulillah. 

Usai sidang, kami sempat berfoto bersama. Rasanya lega. Aku berniat melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda pagi tadi. Namun, pesan masuk. seluruh keluarga telah berkumpul di rumah sakit. Keluarga dari Magelang, Wates, Banjaran, hingga Soreang. Aku sempat ragu. Badanku pegal-pegal, kantuk belum pergi, amanah juga masih ada. Tapi lalu aku berpikir… jika mereka bisa datang dari jauh, masa aku tidak hadir hanya karena capek?

Maka kutinggalkan kampus dan meluncur ke rumah sakit. Baru saja sampai, mamah sudah meminta bantuan ini dan itu. Sebenarnya bukan perkara besar. Tapi dalam kondisi tubuh yang kurang prima, rasanya jadi badmood saja. Membantu dengan diam, lalu selesainya, berjalan ke mushola.Kutunaikan sholat dzuhur di sudut ruangan, tanpa sajadah. Tapi tiba-tiba, seorang teteh yang tak kukenal membentangkan sajadah di depanku, lalu pergi begitu saja.

Setelah salam, mataku menyapu ruang kecil itu. Lima orang tengah khusyuk dalam doa. Empat di antaranya menangis lirih. Air mata mereka jatuh begitu saja, tanpa suara. Jika kata orang dinding rumah sakit adalah tempat doa-doa paling tulus melangit, mungkin itu benar. Dan di sana, aku justru malu. Malu karena terlalu cepat mengeluh. Padahal, yang lain sedang diuji jauh lebih berat dariku. Aku hanya lelah setelah menyelesaikan amanah, setelah sidang, setelah begadang. Tapi mereka? Di sana, di sudut mushola itu, ada yang sedang menggantungkan harap terakhir pada doa-doa, ada yang mungkin sedang meminta kepada Allah agar nyawa orang yang dicintainya masih bisa diselamatkan. Ada yang menangis tanpa suara, sementara tangisnya justru menggema paling dalam.

Malu karena tadi sempat badmood saat diminta tolong ini dan itu oleh mamah, sementara yang lain mungkin bahkan berharap masih bisa melihat wajah ibunya dalam keadaan sadar.

Aku terdiam cukup lama selepas sholat. Sajadah yang entah dari siapa itu terasa seperti Allah sedang mengingatkanku, 
"Engkau tidak sendiri. Di sini, di tempat ini, semua sedang membawa beban masing-masing. Tapi lihat, bahkan di tengah lelah dan sedih, masih ada yang memilih untuk memberi kebaikan sekecil apapun. seperti teteh yang menggelarkan sajadah itu untukmu."

Betapa aku sering lupa bahwa menjadi lelah dalam menjalankan amanah adalah bagian dari karunia. Lelah yang datang karena berusaha menunaikan titipan umat, tanggung jawab akademik, dan panggilan keluarga, semua itu adalah ladang pahala jika diterima dengan ikhlas.

Aku belajar bahwa tidak semua kelelahan harus direspon dengan keluhan. Ada lelah yang harus disyukuri karena artinya aku masih diberi kekuatan untuk berbuat. Masih bisa membantu orang tua. Masih bisa hadir untuk keluarga. Masih bisa menjawab soal sidang. Masih bisa sholat, bahkan ketika tubuh rasanya ingin rebah saja.

Di rumah sakit, tempat berkumpulnya doa-doa yang sunyi namun tulus, aku diajarkan kembali untuk merendah. Bahwa capekku mungkin hanya seujung kuku dibandingkan dengan tangis-tangis khusyuk yang melangit siang ini.

Aku belajar, bahwa hidup bukan tentang siapa yang paling banyak mengeluh, tapi siapa yang paling kuat untuk tetap bersyukur.

Dan mungkin, hikmah kali ini, tersampaikan melalui sajadah hijau yang digelar oleh orang asing di mushola rumah sakit.

Anggi Restian Zahra
Bandung, 26 Juli 2025
13:07 selepas sholat dzuhur, kutulis ini di lantai mushola RS Bhayangkara Sartika Asih.

Jumat, 25 Juli 2025

Mungkin Nanti Kurevisi Kembali.

Ada waktu yang tidak bisa dijelaskan dengan jam.
Ia bukan dalam bentuk pagi, siang, ataupun malam.
Ia hanya hadir sebagai ruang kosong yang menggantung di antara nafas dan hening yang menggema lebih keras dari teriakan.

Kami terduduk di depan ICU,
dalam dingin yang tidak hanya datang dari lantai atau logam,
tapi dari sesuatu yang mengendap di dada. 
antara takut dan pasrah, antara harap dan kehilangan.

Di balik pintu kaca itu, seseorang yang kami cinta sedang berperang.
Tak ada suara, hanya mesin dan detak lemah yang entah akan bertahan sampai kapan.
"hanya soal waktu," katanya. 
Waktu yang mana?
Karena barangkali waktu telah kehilangan ukurannya.

Lalu satu per satu, wajah-wajah datang dari arah yang jauh.
Seperti anak-anak sungai yang akhirnya kembali ke muara,
kami mengalir ke satu titik yang sama:
Bandung, rumah bagi kemungkinan terakhir.

Tidak ada yang banyak bicara.
Karena pada titik ini, kata-kata tak lagi berguna.
Yang berbicara hanyalah tatap mata,
dan genggaman diam yang lebih jujur dari lisan.

Doa-doa beterbangan.
dengan getar yang merambat ke langit.
Mereka mengetuk satu per satu pintu langit,
dengan pesan yang sama:
"Kami tahu ini milikMu. Tapi… jika Engkau berkenan, biarkan kami memeluknya sedikit lebih lama...."

Dan di tengah kesenyapan yang menggigilkan,
aku belajar satu hal yang tak pernah diajarkan siapa pun:
bahwa kematian tak selalu datang dengan suara.
Kadang ia hanya menyelinap dalam kesadaran,
lalu duduk di samping kita seperti teman lama,
menyentuh pundak,
dan bertanya dengan tenang:
"Sudah siap, belum?"

Hari itu aku menyadari,
bahwa ikhlas tidak datang sekaligus.
Ia tumbuh pelan-pelan, dari ketidakberdayaan yang diterima.

Maka hari itu juga, kupahami.
bahwa keajaiban bukan hanya hasil dari doa yang keras, melainkan dari hati yang senantiasa mengupayakan ikhlas.

Anggi Restian Zahra
dalam perjalanan, pukul 02:15
Tasikmalaya, 25 Juli 2025.

Kamis, 24 Juli 2025

tapi yang paling menenangkan adalah

pejalan yang membawa peta kosong
menunggu goresan dari langit 
berjalan di antara kabut yang menutup separuh jalan

gemuruh samar di kejauhan
katanya, hidup adalah tentang menemukan
tapi barangkali, juga tentang menunggu yang disingkapkan. 

menanam harap pada titik paling subur
musim berganti, waktu berlalu
yang tumbuh hanya tanda tanya. 

menggali, mencari.
lupa, tak semua benih dimaksudkan untuk tumbuh di depan mata. 
sebagian, tumbuh di balik tirai waktu.

nyatanya, hidup tak tunduk pada catatan kita.
ia bergerak perlahan. 

doa doa menggantung, 
harap mengendap di dasar waktu, 
langkah tertatih di antara ketidakpastian. 
lalu kita tinggal di antara tanya. 

tapi yang paling menenangkan adalah,
kesadaran bahwa..

rencana Allah terlalu sempurna untuk kita khawatirkan🌻

Anggi Restian Zahra
Bandung, 24 Juli 2025.

Senin, 14 Juli 2025

Pembelajar.

Ada yang menggelitik hatiku selepas kelas kemarin. Semoga ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil🌻

Selepas kelas, aku berpapasan dengan teman lama, sesama aktivis salman, adik tingkatku dulu di Pondok Quran, juga adik tingkatku saat ini di Universitas Muhammadiyah Bandung. Beliau baru keluar dari perpustakaan Salman. Salman ahad kemarin begitu sepi. Tak ada keramaian, tidak ada adik-adik lucu PAS yang sedang belajar, tak ada agenda besar, hanya kelas tahfizh yang berjalan dua tiga halaqah di salah satu sudut masjid. Saat bertemu di area rumah kayu, kami saling menyapa hangat. Lalu dengan sedikit heran, ia bertanya,
“Ada acara apa teh Anggi ke Salman hari ini?”

Aku menjawab ringan, “Ikut kelas.” tanpa menjelaskan kelas apa.  Tapi ternyata ia salah paham, “Ohh teh Anggi yang jadi tim pengajar kelas tahsin itu yaa?”

Aku ikut terkejut sambil tersenyum, lalu menjelaskan, “Eh? Engga, aku ikut kelas tahfizh.”

Tapi ia masih tampak tidak percaya, “Oh jadi ustadzahnya yaa pasti?”
Meski sudah berkali-kali kujawab,
“Nggak, serius, aku jadi murid,” ia tetap bersangka baik.

Percakapan itu sederhana, tapi ada sesuatu yang mengetuk-ngetuk dari dalam. seperti Allah sedang mengajarkan sesuatu lewat dialog yang singkat tersebut. Mungkin, kita terlalu sering menilai posisi sebagai guru atau murid dari segi tempat duduk, dari siapa yang memegang pena dan siapa yang menyimak. Padahal dalam hidup ini, peran itu terus berputar dan berganti.

Ada hari ketika kita diminta berbagi, menyampaikan ilmu, memberi arahan, bahkan menginspirasi. Tapi ada pula hari ketika kita dituntun, dinasihati, atau sekadar diajak diam dan mendengarkan. Dan semua peran itu bukan untuk dibanggakan atau direndahkan, melainkan untuk disyukuri. Karena bukankah setiap hamba memang selalu dalam proses belajar? Bahkan yang mengajar pun hakikatnya tetap murid, murid yang belajar menyampaikan, belajar memperbaiki diri melalui lisan yang keluar dari dirinya sendiri.

Aku sadar penuh untuk merasa tidak masalah menjadi murid, juga belajar merasa tidak masalah untuk menjadi guru. Karena bukan perannya yang utama, tapi keikhlasan untuk terus tumbuh di mana pun Allah tempatkan. Kadang kita diminta bicara, kadang diminta mendengar. Kadang berdiri di depan, kadang duduk di belakang. Dan semua itu saling melengkapi. Tak ada yang lebih mulia kecuali yang lebih jujur dalam menjalani perannya sebagai hamba. Bukankah semua sama di mata Allah dan yang membedakan adalah Taqwa? 

Betapa baiknya Allah yang mengizinkan kita untuk belajar dalam dua peran tersebut, belajar menyampaikan, dan belajar menyerap. Belajar berbagi, dan belajar mencari. Belajar mengajarkan, dan belajar diajarkan. Karena dengan begitu, kita tidak lupa bahwa ilmu bukan untuk meninggikan posisi, tapi untuk menundukkan hati. Dan dengan begitu pula, kita bisa terus menyadari bahwa satu-satunya gelar yang tak akan gugur sampai ajal tiba adalah "abd", seorang hamba.

Menjadi murid bukan pertanda belum sampai. Sama seperti menjadi guru bukan pertanda sudah selesai. Justru keduanya adalah bentuk kasih sayang-Nya, yang tak henti menuntun jiwa untuk terus belajar, terus bertumbuh, terus kembali padaNya dengan hati yang lebih lembut dari sebelumnya.

Allah membolak-balikkan peran kita agar kita tidak tinggal dalam satu bentuk saja, agar kita tahu bagaimana rasanya menyampaikan, dan bagaimana indahnya menerima. Supaya kita tidak tinggi hati saat didengar, dan tidak kecil hati saat mendengar.

Di balik setiap peran, ada amanah. Di balik setiap amanah, ada tarbiyah. Dan di balik semua tarbiyah, ada cintaNya yang selalu menyapa hati kita. 

Bukankah Nabi kita pun guru yang terbaik, namun juga murid yang paling rendah hati di hadapan wahyu? Maka mengapa kita harus malu menjadi murid, jika justru dari situlah kelapangan ilmu dan kehalusan jiwa dilahirkan?

Semoga Allah menjadikan kita hamba yang senantiasa rendah hati di hadapan ilmu, dan penuh adab dalam setiap peran yang Allah amanahkan. Yang selalu ikhlas saat menjadi murid, dan selalu tawadhu saat ditakdirkan menjadi guru. Semoga Allah lembutkan hati kita agar tidak silau oleh pujian, dan tidak runtuh oleh keraguan. Dan semoga Allah tumbuhkan dalam jiwa kita semangat untuk terus belajar, dan keberanian untuk terus mengajar kebaikan dengan cara yang Allah ridhai, Aamiin. 

Yang Lebih Baik dari Menulis

Saat kepala terasa penuh dan dada menyesak, biasanya jemari segera mencari pelampiasan dalam tulisan. Kata-kata menjadi tempat pulang, menjadi wadah yang menampung riuh yang tak bisa dijelaskan. Tapi belakangan ini, bahkan menulis pun tak lagi mampu menjadi pelarian. Pikiran terlalu riuh, hati terlalu sulit untuk menjelaskan apa-apa. Dan diam menjadi satu-satunya pilihan.

Namun di tengah diam itulah, akhirnya menemukan makna baru. Menemukan hal yang bisa lebih menenangkan isi kepala dibanding dengan menuliskannya. Sebab jika hanya menuliskannya, terkadang itu hanya merelease apa yang ada di pikiran, sedang rasa takut kadang masih tersisa disana. Tapi dengan kebiasaan baru ini, bukan hanya bisa merelease apa yang ada di pikiran, tapi rasanya mendapatkan jawaban dan respon. Dari suara yang sejak lama akrab, tapi barangkali tak pernah benar-benar disimak dengan hati yang utuh. 

Jangan lanjut baca, sudah mulai terdengar sok suci bukan? hehe. 
kadang aku juga merasa menggelikan menuliskan perasaan-perasaan ini.

perasaan menjadi seseorang yang sedang sadar bahwa sebenar-benar peran hidupnya hanyalah menjadi seorang hamba.

Ada hari ketika hati terusik oleh kalimat-kalimat yang dilontarkan dari luar sana, kalimat yang tak diarahkan langsung, tapi terasa seperti peluru yang tepat mengenai sasaran. Kala itu, satu pesan yang sudah sangat akrab terdengar kembali. 

Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan menyucikan diri.

Begitu sederhana, begitu sering kita dengar. Tapi kali ini, ayat itu menembus ruang-ruang yang biasanya tertutup rapat. Ada yang melesat jatuh tanpa aba-aba. Bukan karena paham tafsirnya terlalu dalam, tapi karena menyadari betapa kasih sayangNya begitu luas, bahkan ketika hati sedang merasa paling jauh dan tak pantas. 

Beberapa langkah kecil kemudian dibalas dengan jalan yang lapang. Telat mendaftar ulang kelas satu pekan lamanya. Pasrah, mungkin memang belum rezeki. Tapi kemudian mencoba bertanya, dan ternyata masih diberi kesempatan. Mengajukan pindah ke kelas weekend offline, sebab merasa kurang maksimal di kelas weekday online yang pertemuannya hanya via layar meski tiga kali selama sepekan. Hari pertama hadir, bertemu ustadzah yang lembut tutur dan hangat sambutnya. Banyak berbincang, saling mengenal, bahkan ternyata beliau banyak mengenal orang-orang yang juga kukenal. Tidak lupa menanyakan sistem yang berlaku, batas maksimal per pertemuan hanya lima halaman katanya. tapi setelah menyimak, beliau dengan senang hati menawarkan, 'kalau mau nambah bolehh' , ujarnya dengan senyum. Juga beliau menawarkan sistem baru, beliau duluan yang menawarkan untuk aku agar bisa setoran online selama weekday senin sampai jumat seluangnya waktuku, lalu pertemuan offline tetap dilaksanakan di hari Ahad.

Itu bukan sekadar rezeki. Itu bentuk kasih sayang yang melebihi ekspektasi.
Sebuah hikmah, bahwa Allah tidak hanya menjawab doa, tetapi menyempurnakannya dengan rahmat.

Aku hanya meminta masih diberi kesempatan untuk bisa lanjut kelas. Yang diminta hanya satu pintu. Tapi Allah bukakan dua. Yang dimohon hanya kelonggaran, tapi Allah berikan kelapangan.

Saat semua itu terjadi, muncul kesadaran lain, bahwa apa yang terlihat buruk di awal belum tentu buruk di mata-Nya.
Telat? Iya. Tapi bisa jadi telat itu adalah jalan agar bertemu orang yang lebih tepat. Merasa tidak maksimal di kelas lama? Bisa jadi itu yang membawa pada sistem baru yang lebih cocok. Ragu dan takut dinilai buruk? Bisa jadi itu jalan untuk menjauhkan diri dari mencari penilaian manusia, dan membawa pada upaya mencari ridha-Nya saja.

Siapa yang menyangka bahwa Allah tidak hanya memberi kesempatan kedua, tapi juga kemudahan berlipat-lipat?

Tak ada yang tahu isi hati selain Dia. Tak ada yang bisa menakar niat, selain Dzat yang menciptakan hati itu sendiri. Maka apa gunanya takut akan penilaian manusia, bila tujuan sebenarnya hanyalah mencari wajah-Nya?

Tak ada habisnya mencoba memuaskan pandangan makhluk. Tapi cukup satu pandangan dariNya saja, maka cukuplah untuk menenangkan segala riuh dunia.

Begitu banyak kejadian kecil yang ternyata mengandung hikmah besar. 
Bahwa penilaian manusia itu fana, tapi pandangan Allah kekal.
Bahwa melangkah kepadaNya tak pernah sia-sia, bahkan ketika langkah itu dipenuhi ragu.
Bahwa tak perlu menjadi sempurna untuk mendekat pada kasih sayangNya.

Meski dengan hati yang membawa luka, dengan iman yang masih goyah, dengan langkah yang masih terseok. Tapi Allah tak pernah memerlukan kesempurnaan kita untuk mencintai hamba-Nya. Sebab kita tak akan bisa sempurna, bukan? Yang Ia minta hanyalah kejujuran dalam niat yang harus selalu terus diperbaharui. 

Maka kurasakan kali ini makna dzikrullah itu benar-benar hidup. Alaa bidzikrillaahi tatma’innul quluub. Bukankah dengan mengingat Allah hati menjadi tenang?

Ternyata ketenangan tidak datang dari pelarian, tapi dari kembali. Kembali pada sumber cahaya. Kembali pada surat cinta yang selalu menunggu dibaca. Dan saat hati benar-benar berserah, saat langkah diambil meski gemetar, saat itulah langit membuka jalan yang tak pernah dibayangkan.

Ya Allah, jangan Engkau cabut nikmat ini. Jangan ambil sahabatku dari hati yang rapuh ini. Biarlah hidup berjalan naik turun, asalkan genggaman dengan firmanMu tetap erat. Karena bersama-Mu, langkah sekecil apa pun tak akan pernah sia-sia. dan karena mengharap cinta-Mu, ya Allah, sudah cukup menjadi alas dari semua letih yang tidak bisa dijelaskan. 

Minggu, 13 Juli 2025

Memilih Jalan Ilmu

Setiap penempuh jalan ilmu punya fase dan caranya masing-masing. Ada yang senang menghadiri kajian dari satu guru secara konsisten, ada pula yang memilih belajar dari banyak guru. menyimak dari berbagai perspektif dan pengalaman. Keduanya tidak salah. Keduanya adalah bentuk ikhtiar dalam mencari ridha Allah lewat ilmu.

Menghadiri kajian sana-sini bukan berarti seseorang tidak punya murabbi, bukan pula tanda bahwa ia belum menemukan "guru utama". Bisa jadi, itu adalah bentuk healing-nya, caranya untuk merefresh semangat atau mencari sudut pandang baru. Ada yang belajar untuk memperdalam, ada yang datang untuk menguatkan iman, ada juga yang hadir sekadar ingin hatinya disentuh kembali setelah lelah dengan dunia.

Jangan terburu-buru merasa paling benar hanya karena kita sudah nyaman di satu titik. Karena ilmu itu luas, dan perjalanan mencapainya pun beragam. Jangan pula bangga terlalu cepat hingga merasa cukup. Sebab bisa jadi, hari ini kita merasa sudah cukup, tapi esok Allah tunjukkan kekurangan yang belum kita sadari.

Mari jaga adab dalam menuntut ilmu, termasuk adab terhadap sesama penuntut ilmu. Jangan kita merasa lebih hanya karena pilihan kita terlihat lebih "terstruktur". Karena siapa tahu, di balik langkah orang yang kita sangka "belum menemukan guru", ada ketulusan yang lebih besar dari sekadar struktur.

noted; "kita sangka". sebab bisa jadi yang hadir kajian sana sini juga punya murabbi dan guru utama kan~

let your speech be golden, or embrace the wisdom of silence.

Semoga Allah terus menuntun kita dalam jalan ilmu yang diridhai-Nya. Aamiin.

Minggu, 06 Juli 2025

Teman Belajar

Alhamdulillahilladzii bini'matihi tatimussh shoolihaat🌻
Ada bahagia yang tak perlu dimiliki untuk ikut dirayakan.
Cukup melihat senyum saudara seiman, hati pun seakan ikut disirami embun ketenangan.

Betapa indahnya ketika hati tetap bisa mendoakan, meski langkah enggan untuk bersua.
Saat doa menjadi bahasa paling jujur dari hati yang ingin melihat dunia lebih damai,
lebih penuh cinta, lebih diberkahi olehNya.

Sebab hidup ini bukan sekadar tentang luka yang tertinggal,
tetapi tentang bagaimana kita menyembuhkan,
dan tetap memilih untuk menjadi baik, di mata-Nya. meski pernah disakiti, oleh makhluk-Nya. 

Bertumbuhlah, 
Di tanah manapun takdir menempatkanmu.
Tak perlu menunggu tempat yang sempurna,
karena jiwa yang kuat akan selalu menemukan cara untuk berbunga.

Dan bila tak ada yang memahami lukamu,
biarlah Allah yang mengusapnya.
Bila tak ada peluk yang menyambut lelahmu,
biarlah langit jadi saksi keteguhanmu.

Sebab sejatinya, kebahagiaan tak selalu datang dari tawa yang riuh.
Terkadang, ia hadir dalam diam,
dalam hati yang lapang,
dan dalam keyakinan bahwa Allah saja sudah cukup.

Ya Allah berikanlah ia ketenangan dalam hatinya, dan cahaya ilmu kepadanya untuk memahami.. aamiin. 

Setiap luka yang dihadiahkan manusia,
selalu disembuhkan oleh kasih sayang-Nya.

Sebagaimana doa yang tersemat, 
Semoga ketenangan selalu mengiringi hati,
dan kebaikan selalu mengiringi langkah,
di manapun kamu berada.

Anggi Restian Zahra, 
Bandung, 06 Juli 2025.

tidak apa-apa, bahkan jika memang sudah waktunya, wafat karena sakit perut itu syahid dan akan diselamatkan dari siksa kubur kata Rasulullah...