Senin, 14 Juli 2025

Yang Lebih Baik dari Menulis

Saat kepala terasa penuh dan dada menyesak, biasanya jemari segera mencari pelampiasan dalam tulisan. Kata-kata menjadi tempat pulang, menjadi wadah yang menampung riuh yang tak bisa dijelaskan. Tapi belakangan ini, bahkan menulis pun tak lagi mampu menjadi pelarian. Pikiran terlalu riuh, hati terlalu sulit untuk menjelaskan apa-apa. Dan diam menjadi satu-satunya pilihan.

Namun di tengah diam itulah, akhirnya menemukan makna baru. Menemukan hal yang bisa lebih menenangkan isi kepala dibanding dengan menuliskannya. Sebab jika hanya menuliskannya, terkadang itu hanya merelease apa yang ada di pikiran, sedang rasa takut kadang masih tersisa disana. Tapi dengan kebiasaan baru ini, bukan hanya bisa merelease apa yang ada di pikiran, tapi rasanya mendapatkan jawaban dan respon. Dari suara yang sejak lama akrab, tapi barangkali tak pernah benar-benar disimak dengan hati yang utuh. 

Jangan lanjut baca, sudah mulai terdengar sok suci bukan? hehe. 
kadang aku juga merasa menggelikan menuliskan perasaan-perasaan ini.

perasaan menjadi seseorang yang sedang sadar bahwa sebenar-benar peran hidupnya hanyalah menjadi seorang hamba.

Ada hari ketika hati terusik oleh kalimat-kalimat yang dilontarkan dari luar sana, kalimat yang tak diarahkan langsung, tapi terasa seperti peluru yang tepat mengenai sasaran. Kala itu, satu pesan yang sudah sangat akrab terdengar kembali. 

Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan menyucikan diri.

Begitu sederhana, begitu sering kita dengar. Tapi kali ini, ayat itu menembus ruang-ruang yang biasanya tertutup rapat. Ada yang melesat jatuh tanpa aba-aba. Bukan karena paham tafsirnya terlalu dalam, tapi karena menyadari betapa kasih sayangNya begitu luas, bahkan ketika hati sedang merasa paling jauh dan tak pantas. 

Beberapa langkah kecil kemudian dibalas dengan jalan yang lapang. Telat mendaftar ulang kelas satu pekan lamanya. Pasrah, mungkin memang belum rezeki. Tapi kemudian mencoba bertanya, dan ternyata masih diberi kesempatan. Mengajukan pindah ke kelas weekend offline, sebab merasa kurang maksimal di kelas weekday online yang pertemuannya hanya via layar meski tiga kali selama sepekan. Hari pertama hadir, bertemu ustadzah yang lembut tutur dan hangat sambutnya. Banyak berbincang, saling mengenal, bahkan ternyata beliau banyak mengenal orang-orang yang juga kukenal. Tidak lupa menanyakan sistem yang berlaku, batas maksimal per pertemuan hanya lima halaman katanya. tapi setelah menyimak, beliau dengan senang hati menawarkan, 'kalau mau nambah bolehh' , ujarnya dengan senyum. Juga beliau menawarkan sistem baru, beliau duluan yang menawarkan untuk aku agar bisa setoran online selama weekday senin sampai jumat seluangnya waktuku, lalu pertemuan offline tetap dilaksanakan di hari Ahad.

Itu bukan sekadar rezeki. Itu bentuk kasih sayang yang melebihi ekspektasi.
Sebuah hikmah, bahwa Allah tidak hanya menjawab doa, tetapi menyempurnakannya dengan rahmat.

Aku hanya meminta masih diberi kesempatan untuk bisa lanjut kelas. Yang diminta hanya satu pintu. Tapi Allah bukakan dua. Yang dimohon hanya kelonggaran, tapi Allah berikan kelapangan.

Saat semua itu terjadi, muncul kesadaran lain, bahwa apa yang terlihat buruk di awal belum tentu buruk di mata-Nya.
Telat? Iya. Tapi bisa jadi telat itu adalah jalan agar bertemu orang yang lebih tepat. Merasa tidak maksimal di kelas lama? Bisa jadi itu yang membawa pada sistem baru yang lebih cocok. Ragu dan takut dinilai buruk? Bisa jadi itu jalan untuk menjauhkan diri dari mencari penilaian manusia, dan membawa pada upaya mencari ridha-Nya saja.

Siapa yang menyangka bahwa Allah tidak hanya memberi kesempatan kedua, tapi juga kemudahan berlipat-lipat?

Tak ada yang tahu isi hati selain Dia. Tak ada yang bisa menakar niat, selain Dzat yang menciptakan hati itu sendiri. Maka apa gunanya takut akan penilaian manusia, bila tujuan sebenarnya hanyalah mencari wajah-Nya?

Tak ada habisnya mencoba memuaskan pandangan makhluk. Tapi cukup satu pandangan dariNya saja, maka cukuplah untuk menenangkan segala riuh dunia.

Begitu banyak kejadian kecil yang ternyata mengandung hikmah besar. 
Bahwa penilaian manusia itu fana, tapi pandangan Allah kekal.
Bahwa melangkah kepadaNya tak pernah sia-sia, bahkan ketika langkah itu dipenuhi ragu.
Bahwa tak perlu menjadi sempurna untuk mendekat pada kasih sayangNya.

Meski dengan hati yang membawa luka, dengan iman yang masih goyah, dengan langkah yang masih terseok. Tapi Allah tak pernah memerlukan kesempurnaan kita untuk mencintai hamba-Nya. Sebab kita tak akan bisa sempurna, bukan? Yang Ia minta hanyalah kejujuran dalam niat yang harus selalu terus diperbaharui. 

Maka kurasakan kali ini makna dzikrullah itu benar-benar hidup. Alaa bidzikrillaahi tatma’innul quluub. Bukankah dengan mengingat Allah hati menjadi tenang?

Ternyata ketenangan tidak datang dari pelarian, tapi dari kembali. Kembali pada sumber cahaya. Kembali pada surat cinta yang selalu menunggu dibaca. Dan saat hati benar-benar berserah, saat langkah diambil meski gemetar, saat itulah langit membuka jalan yang tak pernah dibayangkan.

Ya Allah, jangan Engkau cabut nikmat ini. Jangan ambil sahabatku dari hati yang rapuh ini. Biarlah hidup berjalan naik turun, asalkan genggaman dengan firmanMu tetap erat. Karena bersama-Mu, langkah sekecil apa pun tak akan pernah sia-sia. dan karena mengharap cinta-Mu, ya Allah, sudah cukup menjadi alas dari semua letih yang tidak bisa dijelaskan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tidak apa-apa, bahkan jika memang sudah waktunya, wafat karena sakit perut itu syahid dan akan diselamatkan dari siksa kubur kata Rasulullah...