Senin, 26 Mei 2025

jejak yang di luruhkan olehNya.

Aku tutup hari dengan niat sederhana. Bangun untuk tahajjud seperti biasa, dan bertekad merutinkan kembali sholat taubat. Memandang malam sebagai lembar kosong, berharap bisa menulis ulang cerita dengan tinta ampunan. Sebelum memulai semuanya, aku ingin bersih.

Namun, tengah malam memanggil dengan cara yang tak terduga. 01:00 dini hari, terbangun dengan kaki yang linu menusuk, tubuh yang menggigil, dan perut yang bergejolak. Aku terjaga, harus bolak-balik ke kamar mandi, bergulat dengan rasa sakit. Tubuh mengeluarkan semua sampahnya, berkali-kali. 

Tidur pun menjadi tamu yang tak ramah, disertai mimpi-mimpi kabur dan aneh. Mimpi khas saat seseorang sedang mengalami demam. Dua lapis selimut tidak cukup, aku terus menggigil. Waktu bergulir perlahan, sampai akhirnya adzan subuh mengiris kesunyian. Aku kembali ke kamar mandi, tubuh mengeluarkan kembali sampahnya, sebelum akhirnya aku berwudhu dan menunaikan sholat subuh. 

Ibu datang dengan bubur hangat dan teh pahit yang mengusir dingin, seraya menyodorkan obat yang Kamis lalu kubawa dari dokter. Hari ini aku hanya bisa terbaring, menerima sakit ini sebagai sebagai pesan. Pesan bahwa taubat bisa datang dalam rupa nikmat sakit.

Sakit ini, aku yakini, adalah cara istimewa dariNya dalam menyambut niat baikku. Ia akan membersihkan noda lama dalam jiwa. Sebagaimana sabda Rasulullah,  “Tidaklah seorang muslim ditimpa suatu musibah berupa sakit atau lainnya, melainkan Allah akan menggugurkan dosa-dosanya dengan sakitnya itu, sebagaimana sebatang pohon yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Terbaring dalam keheningan pagi, aku nengirim pesan tidak bisa masuk kerja. Mendapat doa kesembuhan dari rekan-rekan. Hingga siang, hanya berbaring di kamar yang bisa kulakukan. Mendengar lantunan ayat suci dari Youtube. Menggigil, kuiringi dengan dzikir dan istighfar. Sambil diselingi bolak-balik ke kamar mandi yang belum usai itu. 

Aku berbaring, menuliskan ini sebagai renungan, bahwa taubat bukan hanya saat aku berdiri di sepertiga malam, tapi juga ketika aku sabar menghadapi nikmat dan ujian. Merefleksi dan menghibur diri, bahwa niat baikmu untuk memulai semuanya dengan taubat, disambut baik olehNya dengan cara yang istimewa.

Semoga sakit ini menjadi jalan pembersihan jiwa. Bukan hanya dari dosa, tapi juga dari lalai dan lupa. Sebelum langkah baru ditapaki, jejak lama terlebih dulu diluruhkan olehNya. Allah membersihkannya, in syaa Allah. 

Takut.

"Aku bukan gamau..."
Kata-katanya menggantung. Tak ada tekanan suara, tapi ada jeda yang terasa berat.

"Cuma takut aja."

Aku mendengarnya. Tak buru-buru bertanya, tapi juga tak membiarkannya membeku.

"Takut apa?" tanyaku akhirnya, hati-hati.

Ia terdiam. Sejenak mengedarkan pandang, entah ke mana. Kadang seseorang butuh tempat untuk menyimpan takutnya, bukan agar dihakimi, tapi sekadar agar tak membludak dalam dada.

"Gatau... takut aja."

Kejujuran paling polos, seringkali datang tanpa penjelasan. Karena ketakutan itu bukan selalu punya bentuk. Kadang hanya perasaan samar yang tumbuh tanpa akar yang jelas.

"Yee... aneh," ucapku pelan. Bukan mengolok, hanya mencoba menyambut resahnya dengan ringan.

Lalu ia menoleh, seolah ragu, boleh atau tidak mengucapkannya,
"Wajar kan, kalau manusia takut akan penolakan?"

Aku mengangguk.
"Wajar. Manusiawi sekali."

Ia menarik napas, lebih dalam dari sebelumnya.
"Aku takut... kalau aku nggak sesuai ekspektasi beliau."

Perlahan, lapisan ketakutannya terurai. Bukan takut pada sosok laki-laki itu semata, tapi takut pada ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Takut bahwa dirinya, dengan segala keterbatasan yang belum tertutupi, belum cukup layak.

"Eyy," aku bicara lebih pelan, "Tugas suami itu mendidik istrinya."

Ia mengangguk ragu,
"Iya, tapi... aku tetap takut." 
Ia menoleh. matanya meminta penjelasan.

"Sekurang-kurangnya seorang istri, adalah tanggung jawab suami. Bukan untuk dituntut langsung sempurna, tapi untuk dibimbing, dididik, dan dijaga dengan kasih sayang. Harusnya sih, proses menjadi suami dan istri itu bukan dengan mencari pasangan yang sudah selesai tumbuh, tapii yang laki-laki bersedia menjadi pemimpin yang membersamai pertumbuhan, yang perempuan juga bersedia dibimbing menuju kebaikan."

Sunyi sejenak. Tapi bukan sunyi yang canggung. Justru sunyi yang membuat ruang bagi hati untuk merenung.

"Kau tahu," kataku kemudian, "Islam tidak menuntut perempuan menjadi sempurna sebelum dinikahi. Tapi Islam mengajarkan bahwa suami istri itu saling melengkapi. Kalau semua orang harus sempurna dulu sebelum menikah, maka takkan ada yang pernah cukup."

Ia diam, mendengar.

"Dalam Islam, pernikahan itu kan ibadah? Dan ibadah itu butuh proses, bukan hasil instan. Rasulullah pun mendampingi istri-istrinya dengan kelembutan dan ilmu, bukan dengan ekspektasi kaku. Karena yang dilihat bukan apa yang kamu miliki sekarang, tapi seberapa besar kamu mau belajar bersama."

"Rasulullah bukan hanya mencintai Aisyah, tapi juga membimbingnya. Ia mengajarkan, menenangkan, menuntun. Karena pernikahan bukan tentang siapa yang lebih tahu, tapi siapa yang mau tumbuh bersama."

Aku melanjutkan,
"Ketakutanmu itu bukan kelemahan. Itu tanda bahwa kau ingin menjadi lebih baik. Dan justru di sanalah keindahan hamba yang bertakwa, bukan yang paling siap, tapi yang mau terus berbenah."

Ia memejam sesaat. Kali ini, bukan untuk menyembunyikan takut, tapi mungkin mencoba mengerti.

"Tak perlu menunggu sempurna untuk masuk ke fase baru," kataku lagi.
"Karena justru dalam fase itu, dua orang sedang belajar menyempurnakan diri. Bersama."

"Kalau ia benar mencintaimu karena Allah, maka ia tahu bahwa mencintaimu berarti menerima prosesmu. Memandu langkahmu, bukan menuntut lompatanmu."

Ia menunduk, tak dengan air mata, tapi dengan renungan yang tenang. Seolah kalimat-kalimat tadi baru saja mengetuk pintu hatinya yang sebelumnya tertutup rapat karena rasa minder.
Di dalam hening itu, ada kelegaan kecil. Ketakutan itu belum hilang, aku tahu. Tapi barangkali, sekarang sudah mulai menemukan tempatnya. Tak lagi menyesakkan, tak lagi harus disembunyikan.

"Jangan ukur diri dari ekspektasi manusia," ujarku terakhir,
"Ukurlah dari seberapa besar niatmu untuk jadi lebih baik, dan seberapa ikhlasmu menyerahkan proses itu kepada Allah."

Faritsul Mulatsam. 
Bandung, 26 Mei 2025. 

Minggu, 25 Mei 2025

Neraka?

"Mungkin dia tak sadar, kalau dia adalah nerakamu" 

Aku membacanya berulang. Mencerna, mengendapkannya dalam diam. Barangkali maksudnya adalah luapan luka yang tak sempat tersampaikan dengan baik. Atau bisa jadi, hanya sekadar bentuk pelarian, dari rasa yang tak berhasil ia kelola sendiri.

Lucu juga ya, kalau manusia punya tafsir tentang neraka versi dirinya masing-masing. Ah, tak apalah. Jangan diambil pusing, definisi nerakamu itu gak berpengaruh buatku, karena aku hanya akan mengambil referensi definisi neraka (dan hal-hal yang menyebabkan orang masuk kedalamnya), dari yang menciptakan neraka itu sendiri, bung.

Memang, menjadi neraka bagi seseorang bukanlah kehormatan. Tapi jika jalan belajar kita ditafsir sebagai azab, maka barangkali yang perlu direnungi bukan hanya cara belajar kita saja, barangkali dia juga harus mulai mencoba merenungi caranya memandang, menuntut, dan menggantungkan harap.

Manusia makhluk tidak sempurna, tidak selalu sesuai ekspektasi. Tapi, menuduh seseorang sebagai neraka tanpa melihat cara diri sendiri menggenggam api, itu bukan kebijaksanaan. ^^ *cmiiw

Yasudah, tidak semua tuduhan layak dibalas, dan tidak semua luka harus dibuktikan siapa pelakunya. Sebagian harus dilepas dengan tenang. Dengan doa agar masing-masing menemukan surga dalam dirinya tanpa harus menunjuk siapa yang layak disebut neraka.

Di akhir tulisan ini, kukirimkan doa untuk siapapun yang menganggap neraka ada pada diri orang lain, atau mungkin bentuk lain.. 

Semoga hatimu yang sempat terluka, dipeluk lembut oleh kasih-Nya.
Semoga luka-luka yang kau simpan rapat di balik kalimat tajammu, digantikan dengan ketenangan yang tak bisa ditukar oleh siapa pun, selain Dia yang Maha Menenangkan.
Semoga kamu bisa tumbuh menjadi pribadi yang yang lebih dewasa dan lembut tuturnya. 
Semoga kamu berhenti menabur luka dengan kata, dan mulai menanamkan benih sabar, empati, dan pengertian, sebab dunia ini terlalu luas untuk dipenuhi amarah yang sia-sia, dan hati yang sempit hanya akan memenjarakan diri sendiri.
Semoga kamu punya keberanian untuk berdamai dengan kerapuhanmu, dan belajar bahwa meminta maaf dan memaafkan adalah tanda jiwa yang kuat. 
Semoga hidupmu kelak dipenuhi dengan kedamaian, bukan kebencian yang kau ukir sendiri, dan kamu mampu memandang ke belakang tanpa menyesal, melainkan dengan rasa syukur akan proses yang telah membentukmu.

Semoga kamu sembuh dari lukamu, dan kelak bisa mendoakan orang lain tanpa harus menyebutnya neraka, karena sejatinya, neraka terburuk adalah membakar hati sendiri.

Anggi Restian Zahra. 
Bandung, 25 Mei 2025. 

Jumat, 23 Mei 2025

Pada Titik Memaafkan dan Belajar Mendoakan Kebaikan.


Ada satu titik dalam perjalanan, yang akhirnya membuat kita paham, bahwa memaafkan bukan tentang melupakan luka, melainkan keikhlasan untuk tidak terus-menerus membawa perihnya luka tersebut untuk hari esok dan seterusnya. Di saat itu, kita pun mulai belajar mendoakan kebaikan bagi mereka yang pernah melukai, bukan karena mereka selalu benar, tapi karena hati yang lapang tahu bahwa setiap jiwa sedang berproses menuju utuhnya masing-masing.

Di sisi lain, dalam perenungan yang hening, jiwa ikut tersentak, betapa mungkin, dalam langkah yang tak selalu lurus, ada hati yang pernah retak karena kita. Ada luka yang tak sempat kita tahu, namun tetap menganga dalam diam orang lain. Kita lupa, bahwa sebagaimana kita diuji oleh orang lain, kita pun bisa menjadi ujian bagi mereka.

وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً ۗ أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا
"Dan Kami jadikan sebagian kamu sebagai ujian bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan Tuhanmu Maha Melihat."
(QS. Al-Furqan: 20)

Maka memaafkan dan mendoakan, bukan hanya soal melepaskan, tapi juga pengakuan. Bahwa diri ini pun tak selalu benar, bahwa kita pun membutuhkan maaf dari sesama, seperti kita berharap langit menerima pinta-pinta lirih kita.

Lalu perlahan, kita memilih memaafkan. Bukan karena luka telah sembuh, tapi karena kita tak ingin menjadikannya pusaka. Kita memilih mengirim doa-doa baik bagi mereka yang pernah menancapkan duri, karena menyimpan luka ternyata lebih melelahkan daripada belajar mengikhlaskan.

Dalam proses tersebut, nyatanya ada cermin yang diam-diam menghadap ke dalam. Menatap pantulan diri dan menemukan kenyataan yang terkadang tak ingin kita akui, bahwa kita pun bisa menjadi badai dalam hidup orang lain. Bahwa mungkin, di saat-saat yang tak kita tau, kita pernah menjadi sebab dari air mata mereka terjatuh.

Betapa mudah kita mengingat rasa sakit yang ditinggalkan orang lain, namun betapa jarang menyadari luka yang pernah kita tinggal di hati orang lain, meski tanpa kita niatkan, meski hanya lewat isyarat kecil yang luput dari perhatian.

Hingga sampai pada pemahaman, bahwa perjalanan memaafkan bukan sekadar jalan keluar dari belenggu luka, tetapi juga sebagai jalan pulang menuju kerendahan hati. Sebuah kesadaran bahwa sebagaimana kita ingin dimengerti, kita pun perlu belajar mengerti. Sebagaimana kita ingin dimaafkan, kita pun mesti belajar memaafkan. Sebagaimana kita ingin didoakan kebaikan, maka kita pun harus memulai untuk mendoakan kebaikan. 

Maka, belajar memaafkan dan mendoakan kebaikan adalah langkah pertama. Karena pada akhirnya, kita pun ingin diperlakukan dengan kasih yang sama, dimaafkan dan didoakan kebaikan, meski pernah menjadi alasan luka bagi orang lain, sadar maupun tidak. 

Anggi Restian Zahra, 
Bandung, 23 Mei 2025.

Senin, 19 Mei 2025

Teruntuk..

Teruntuk.. 

Tapi sebelum menasihati orang lain, nasihatilah diri sendiri. 

Untukmu, Anggi, kelak...

Kelak... jadilah ibu yang tidak membebankan ekspektasi pada anak-anakmu, pada menantumu, atau pada siapa pun yang Allah titipkan untuk kamu cintai.
Jangan menuntut mereka menjadi seperti apa yang ada di kepalamu, tapi doakanlah mereka agar tumbuh sesuai takdir terbaik yang Allah tuliskan.

Jangan membandingkan.
Jangan menanamkan rasa kurang hanya karena mereka berbeda dari yang kamu harapkan.
Sebab kamu tahu betul, bukan? Luka yang datang dari ekspektasi tak terlihat oleh mata, tapi menetap lama dalam dada.
Kamu pernah merasakannya, maka jangan ulangi siklusnya.

Teruntuk Anggi, kelak...
Jadilah ibu seperti mamahmu.. 
Yang diam-diam menyeka letih anak-anaknya dengan sabar. Yang tidak memaksakan jalan, tapi selalu jadi pelita ketika gelap mulai datang.
Yang dalam diamnya, doanya menggema sampai ke langit ketujuh. Yang tak banyak menuntut, tapi di sela tegurannya, anak-anak tahu mereka dicintai, sepenuhnya.

Kelak, ketika kau mulai lupa karena dunia terasa padat, semoga tulisan ini menjadi pengingat:
Bahwa tugas seorang ibu bukan membentuk anak menjadi replika harapan,
tapi menjaga fitrah yang Allah tanam sejak mereka lahir, agar tumbuh dengan arah, bukan tekanan.

Dan saat mereka bertanya,
“Ibu ingin aku jadi apa?”,
jawab dengan lembut:
“Jadilah dirimu yang paling jujur dan paling dekat dengan Allah. Itu sudah cukup.”


Teruntuk... 
Adik... Adik siapapun.. hehe.. 

Adek, semoga kamu bisa tumbuh tanpa harus memikul beban dari bayang-bayang ekspektasi orang lain.

Dari kecil mungkin kamu akan sering mendengar kata-kata seperti
“seharusnya begini”,
“lebih baik begitu”,
atau
“kalau jadi kamu, aku akan…”
seolah hidupmu adalah layar kosong yang boleh mereka lukis sesuka hati.
Padahal, hidupmu bukan panggung untuk membuktikan apa pun pada siapa pun, selain kepada Allah yang paling mengenal isi hatimu.

Adek, kamu boleh mendengar, tapi tidak harus selalu mengikuti.
Kamu boleh menghormati, tanpa harus kehilangan kendali atas dirimu sendiri.
Sebab akan ada masa di mana dunia mencoba menjadikanmu sesuatu yang bukan dirimu, atas nama cinta, kebanggaan, atau tradisi.
Tapi semoga kamu ingat, bahwa hidupmu bukan untuk menyenangkan semua orang, melainkan untuk berjalan lurus di jalan yang Allah ridhai, meski terkadang sunyi, meski tidak selalu disorot.

Tumbuhlah dengan keberanian untuk bertanya:
“Apa aku benar-benar menginginkan ini? Apakah ini memberi manfaat? Atau aku hanya takut mengecewakan?”
Karena sering kali, kita tidak sadar sedang membangun hidup untuk memenuhi rasa puas orang lain, bukan untuk menenangkan hati di hadapan-Nya.

Adek, kamu tidak harus jadi yang paling hebat, paling pintar, atau paling menonjol.
Cukup jadi seseorang yang tenang, karena tahu bahwa hidup yang kamu jalani adalah hidup yang kamu pilih, dengan niat baik dan ridha dari Allah.

Dan jika suatu saat kamu merasa tersesat, semoga kamu menemukan jalan pulang, bukan ke tempat orang lain mengarahkanmu, tapi ke dalam dirimu sendiri, tempat di mana Allah menanamkan fitrah, kejujuran, dan ketenangan.

Karena pada akhirnya, bukan tentang seberapa banyak kamu membuat orang bangga,
tapi seberapa dekat kamu berjalan menuju-Nya, dengan hati yang lapang dan jiwa yang utuh.

~Anggi Restian Zahra
Bandung, 19 Mei 2025.

Minggu, 18 Mei 2025

Perahu Kertas di Sungai Harapan.

Tentang mereka yang sering luput dari pandang mata dunia. Anak-anak dengan langkah kecil namun mimpi yang luas. Tak bicara lantang tentang derita, tapi menyulam harap dalam diam.

Tubuh kecil dan dunia sederhana tak pernah membatasi langit mimpi. Meski tanpa banyak fasilitas atau arahan, mereka tetap berjalan, menggenggam cahaya dengan tangan yang mungkin belum utuh, namun penuh tekad.

Semoga, bisa menjadi jendela untuk melihat bahwa keberanian sejati bukan selalu soal kekuatan, tapi soal kesabaran yang tumbuh dalam keterbatasan, dan harapan yang tak pernah lelah dilafalkan, meski hanya dalam doa yang bisu. 


Tangan-tangan kecil menggenggam mentari,
Menyulam cahaya di jemari pagi.
Langkah-langkah mungil menari di embun,
Mengaji harap di jalan yang sunyi.

Matanya lentera dari pelupuk bumi,
Menatap langit serupa buku terbuka.
Ia petik bintang dengan doa bisu,
Menyisipkan rindu pada setiap jeda.

Ia bukan daun, tapi tahu caranya gugur,
Lalu tumbuh lagi di batang yang sabar.
Ia bukan angin, tapi mampu berlari,
Meski tak pernah diundang oleh arah.

Cita-citanya adalah perahu kertas,
Berlayar di sungai penuh bebatuan.
Tapi sungai pun tunduk pada tekad,
dan perahu tak gentar walau basah harapan.

-Arzhr, 18 Mei 2025. 

Jumat, 16 Mei 2025

Silau, Menyilaukan.


Setiap hari aku melewati sebuah panggung,
yang gemerlapnya tak pernah redup,
lampunya menyala barangkali bisa belasan kali sehari,
penuh sorotan, penuh narasi yang mendebarkan.
Katanya ini kisah bahagia,
Katanya ini kehidupan luar biasa.

Tapi aku tahu…
panggung itu cuma tirai,
yang di baliknya ada ruang gelap yang tak banyak ditunjukkan.

Aku bukan penonton yang iri pada lakon utama,
aku hanya penikmat sunyi
yang tak terbiasa melihat sandiwara terlalu sering,
terlalu ramai,
terlalu dipaksa untuk percaya.

Kadang aku duduk sendiri di bangku penonton paling belakang,
bertanya dalam hati,
“Benarkah hidup seindah itu?”
Lalu aku tertawa kecil,
karena aku tahu jawabannya,
tapi tetap saja dadaku terasa sesak.

Yang membuat panggung itu semakin menyilaukan,
adalah karena salah satu tokohnya
adalah dia yang aku simpan dalam ruang rasa.
Bukan sebagai pemeran,
tapi sebagai seseorang yang diam-diam ingin kupahami lebih dalam, 
tanpa harus diganggu sorot lampu lelakon lainnya.

Aku diam.
Karena menyuarakan rasa jengah pada lampu panggung,
bisa saja dianggap menghina seluruh pertunjukan.
Padahal aku hanya ingin menutup mata sejenak,
dari segala yang terlalu gemerlap tapi rapuh.

Mungkin ini adalah pelajaranku:
bahwa tidak semua cahaya itu menenangkan,
beberapa justru menyilaukan mata dan melelahkan jiwa.
Dan aku, sebagai penonton, berhak memilih
untuk sesekali keluar dari gedung pertunjukan,
menyesap udara malam,
dan membiarkan sunyi mengobati cemburu yang tak bersuara.

~Faritsul Mulatsam. 

Rabu, 14 Mei 2025

Cerminnnn... Tanah Liat....

Ia datang padaku seperti senja yang kehilangan arah...
Di matanya, aku melihat seorang anak yang tubuhnya tumbuh tapi jiwanya masih tertahan di antara harapan dan keinginan yang belum sempat ia pilih sendiri.
Ia duduk, menggenggam udara seolah ingin memastikan bahwa ia masih ada… sebagai dirinya sendiri.

“Aku merasa seperti tanah liat,” ujarnya.
“Dibentuk, dibengkokkan, dicetak, lalu diwarnai dengan warna-warna yang bukan pilihanku.”

Aku diam, ia mulai bercerita.
Tentang seorang ibu yang belum sembuh dari retaknya sendiri.
Seorang ibu yang mengumpulkan pecahan masa lalunya, lalu mencoba merekatkannya di tubuh anaknya.

“Setiap pagi, aku memakai baju yang ibu pilihkan, tapi bukan hanya baju di tubuhku.. bahkan mimpi-mimpiku pun telah dijahitkan oleh tangannya,” katanya.
“Aku merasa seperti menjadi cerminnya yang setiap hari harus memantulkan versi terbaik dari dirinya yang dulu belum tuntas dengan harapannya.”

“Setiap hariku kayak jadi wadah... tempat Ibu menuangkan mimpi yang nggak sempat tergenapi,” ujarnya pelan.
“Aku pakai cita-cita yang bukan punyaku, dituntun ke arah yang bahkan nggak aku kenal.”

Lalu ia menarik napas panjang, seolah ada yang mengganjal lama di dadanya.

“Ditambah sekarang, ia lebih sering menatap layar ponsel. Di sana, ada anak-anak yang katanya hebat, dengan prestasi ini dan itu. Yang setiap kali Ibu lihat mereka, rasanya ada lapisan baru yang ditambahkan di pundakku.”

Ia tersenyum kecil, namun matanya tak ikut tersenyum.

“Lucu ya, aku belum selesai jadi diriku… tapi udah diminta jadi semua orang yang bukan aku.”

Ah, layar ponsel itu.. Tempat parade anak-anak sempurna yang memenangkan lomba, meraih beasiswa, menjadi kebanggaan keluarga.
Dan setiap anak-anak itu muncul, ia merasa ada satu lagi lapisan beban yang ditambahkan di pundaknya.

“Seperti langit yang terus dipaksa menyimpan matahari, padahal ia sedang ingin hujan.”

Aku menatapnya.. anak ini bukan lemah.
Ia hanya sedang terjebak di antara harapan yang mengikat dan keinginan untuk tumbuh sebagai dirinya sendiri.

“Bolehkah aku tumbuh seperti pohon?” tanyanya padaku.
“Pohon… yang tumbuh perlahan, punya akar sendiri, dan tidak dipaksa berbunga saat belum waktunya.”

Aku hanya mengangguk. Mencoba mengerti mereka yang kehabisan ruang untuk bernapas.. terlalu sibuk mengejar langit yang ditunjuk orang lain, hingga lupa cara melihat langitnya sendiri.

~Faritsul Mulatsam. 

17 Juni 2022/2023 - 17 Juni 2025.

  Anggi.. boleh nulis di blog hari ini kalau udah beres targetan nulis skripsinya yaa :) sementara gambarnya aja dulu sksk