Senin, 26 Mei 2025

Takut.

"Aku bukan gamau..."
Kata-katanya menggantung. Tak ada tekanan suara, tapi ada jeda yang terasa berat.

"Cuma takut aja."

Aku mendengarnya. Tak buru-buru bertanya, tapi juga tak membiarkannya membeku.

"Takut apa?" tanyaku akhirnya, hati-hati.

Ia terdiam. Sejenak mengedarkan pandang, entah ke mana. Kadang seseorang butuh tempat untuk menyimpan takutnya, bukan agar dihakimi, tapi sekadar agar tak membludak dalam dada.

"Gatau... takut aja."

Kejujuran paling polos, seringkali datang tanpa penjelasan. Karena ketakutan itu bukan selalu punya bentuk. Kadang hanya perasaan samar yang tumbuh tanpa akar yang jelas.

"Yee... aneh," ucapku pelan. Bukan mengolok, hanya mencoba menyambut resahnya dengan ringan.

Lalu ia menoleh, seolah ragu, boleh atau tidak mengucapkannya,
"Wajar kan, kalau manusia takut akan penolakan?"

Aku mengangguk.
"Wajar. Manusiawi sekali."

Ia menarik napas, lebih dalam dari sebelumnya.
"Aku takut... kalau aku nggak sesuai ekspektasi beliau."

Perlahan, lapisan ketakutannya terurai. Bukan takut pada sosok laki-laki itu semata, tapi takut pada ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Takut bahwa dirinya, dengan segala keterbatasan yang belum tertutupi, belum cukup layak.

"Eyy," aku bicara lebih pelan, "Tugas suami itu mendidik istrinya."

Ia mengangguk ragu,
"Iya, tapi... aku tetap takut." 
Ia menoleh. matanya meminta penjelasan.

"Sekurang-kurangnya seorang istri, adalah tanggung jawab suami. Bukan untuk dituntut langsung sempurna, tapi untuk dibimbing, dididik, dan dijaga dengan kasih sayang. Harusnya sih, proses menjadi suami dan istri itu bukan dengan mencari pasangan yang sudah selesai tumbuh, tapii yang laki-laki bersedia menjadi pemimpin yang membersamai pertumbuhan, yang perempuan juga bersedia dibimbing menuju kebaikan."

Sunyi sejenak. Tapi bukan sunyi yang canggung. Justru sunyi yang membuat ruang bagi hati untuk merenung.

"Kau tahu," kataku kemudian, "Islam tidak menuntut perempuan menjadi sempurna sebelum dinikahi. Tapi Islam mengajarkan bahwa suami istri itu saling melengkapi. Kalau semua orang harus sempurna dulu sebelum menikah, maka takkan ada yang pernah cukup."

Ia diam, mendengar.

"Dalam Islam, pernikahan itu kan ibadah? Dan ibadah itu butuh proses, bukan hasil instan. Rasulullah pun mendampingi istri-istrinya dengan kelembutan dan ilmu, bukan dengan ekspektasi kaku. Karena yang dilihat bukan apa yang kamu miliki sekarang, tapi seberapa besar kamu mau belajar bersama."

"Rasulullah bukan hanya mencintai Aisyah, tapi juga membimbingnya. Ia mengajarkan, menenangkan, menuntun. Karena pernikahan bukan tentang siapa yang lebih tahu, tapi siapa yang mau tumbuh bersama."

Aku melanjutkan,
"Ketakutanmu itu bukan kelemahan. Itu tanda bahwa kau ingin menjadi lebih baik. Dan justru di sanalah keindahan hamba yang bertakwa, bukan yang paling siap, tapi yang mau terus berbenah."

Ia memejam sesaat. Kali ini, bukan untuk menyembunyikan takut, tapi mungkin mencoba mengerti.

"Tak perlu menunggu sempurna untuk masuk ke fase baru," kataku lagi.
"Karena justru dalam fase itu, dua orang sedang belajar menyempurnakan diri. Bersama."

"Kalau ia benar mencintaimu karena Allah, maka ia tahu bahwa mencintaimu berarti menerima prosesmu. Memandu langkahmu, bukan menuntut lompatanmu."

Ia menunduk, tak dengan air mata, tapi dengan renungan yang tenang. Seolah kalimat-kalimat tadi baru saja mengetuk pintu hatinya yang sebelumnya tertutup rapat karena rasa minder.
Di dalam hening itu, ada kelegaan kecil. Ketakutan itu belum hilang, aku tahu. Tapi barangkali, sekarang sudah mulai menemukan tempatnya. Tak lagi menyesakkan, tak lagi harus disembunyikan.

"Jangan ukur diri dari ekspektasi manusia," ujarku terakhir,
"Ukurlah dari seberapa besar niatmu untuk jadi lebih baik, dan seberapa ikhlasmu menyerahkan proses itu kepada Allah."

Faritsul Mulatsam. 
Bandung, 26 Mei 2025. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

aku tidak menulis blog hari ini, but let me share a heartwarming du’a & reminder i came across today... semoga ada hikmah yang bisa diam...