"Mungkin dia tak sadar, kalau dia adalah nerakamu"
Aku membacanya berulang. Mencerna, mengendapkannya dalam diam. Barangkali maksudnya adalah luapan luka yang tak sempat tersampaikan dengan baik. Atau bisa jadi, hanya sekadar bentuk pelarian, dari rasa yang tak berhasil ia kelola sendiri.
Lucu juga ya, kalau manusia punya tafsir tentang neraka versi dirinya masing-masing. Ah, tak apalah. Jangan diambil pusing, definisi nerakamu itu gak berpengaruh buatku, karena aku hanya akan mengambil referensi definisi neraka (dan hal-hal yang menyebabkan orang masuk kedalamnya), dari yang menciptakan neraka itu sendiri, bung.
Memang, menjadi neraka bagi seseorang bukanlah kehormatan. Tapi jika jalan belajar kita ditafsir sebagai azab, maka barangkali yang perlu direnungi bukan hanya cara belajar kita saja, barangkali dia juga harus mulai mencoba merenungi caranya memandang, menuntut, dan menggantungkan harap.
Manusia makhluk tidak sempurna, tidak selalu sesuai ekspektasi. Tapi, menuduh seseorang sebagai neraka tanpa melihat cara diri sendiri menggenggam api, itu bukan kebijaksanaan. ^^ *cmiiw
Yasudah, tidak semua tuduhan layak dibalas, dan tidak semua luka harus dibuktikan siapa pelakunya. Sebagian harus dilepas dengan tenang. Dengan doa agar masing-masing menemukan surga dalam dirinya tanpa harus menunjuk siapa yang layak disebut neraka.
Di akhir tulisan ini, kukirimkan doa untuk siapapun yang menganggap neraka ada pada diri orang lain, atau mungkin bentuk lain..
Semoga hatimu yang sempat terluka, dipeluk lembut oleh kasih-Nya.
Semoga luka-luka yang kau simpan rapat di balik kalimat tajammu, digantikan dengan ketenangan yang tak bisa ditukar oleh siapa pun, selain Dia yang Maha Menenangkan.
Semoga kamu bisa tumbuh menjadi pribadi yang yang lebih dewasa dan lembut tuturnya.
Semoga kamu berhenti menabur luka dengan kata, dan mulai menanamkan benih sabar, empati, dan pengertian, sebab dunia ini terlalu luas untuk dipenuhi amarah yang sia-sia, dan hati yang sempit hanya akan memenjarakan diri sendiri.
Semoga kamu punya keberanian untuk berdamai dengan kerapuhanmu, dan belajar bahwa meminta maaf dan memaafkan adalah tanda jiwa yang kuat.
Semoga hidupmu kelak dipenuhi dengan kedamaian, bukan kebencian yang kau ukir sendiri, dan kamu mampu memandang ke belakang tanpa menyesal, melainkan dengan rasa syukur akan proses yang telah membentukmu.
Semoga kamu sembuh dari lukamu, dan kelak bisa mendoakan orang lain tanpa harus menyebutnya neraka, karena sejatinya, neraka terburuk adalah membakar hati sendiri.
Anggi Restian Zahra.
Bandung, 25 Mei 2025.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar