Ia datang padaku seperti senja yang kehilangan arah...
Di matanya, aku melihat seorang anak yang tubuhnya tumbuh tapi jiwanya masih tertahan di antara harapan dan keinginan yang belum sempat ia pilih sendiri.
Ia duduk, menggenggam udara seolah ingin memastikan bahwa ia masih ada… sebagai dirinya sendiri.
“Aku merasa seperti tanah liat,” ujarnya.
“Dibentuk, dibengkokkan, dicetak, lalu diwarnai dengan warna-warna yang bukan pilihanku.”
Aku diam, ia mulai bercerita.
Tentang seorang ibu yang belum sembuh dari retaknya sendiri.
Seorang ibu yang mengumpulkan pecahan masa lalunya, lalu mencoba merekatkannya di tubuh anaknya.
“Setiap pagi, aku memakai baju yang ibu pilihkan, tapi bukan hanya baju di tubuhku.. bahkan mimpi-mimpiku pun telah dijahitkan oleh tangannya,” katanya.
“Aku merasa seperti menjadi cerminnya yang setiap hari harus memantulkan versi terbaik dari dirinya yang dulu belum tuntas dengan harapannya.”
“Setiap hariku kayak jadi wadah... tempat Ibu menuangkan mimpi yang nggak sempat tergenapi,” ujarnya pelan.
“Aku pakai cita-cita yang bukan punyaku, dituntun ke arah yang bahkan nggak aku kenal.”
Lalu ia menarik napas panjang, seolah ada yang mengganjal lama di dadanya.
“Ditambah sekarang, ia lebih sering menatap layar ponsel. Di sana, ada anak-anak yang katanya hebat, dengan prestasi ini dan itu. Yang setiap kali Ibu lihat mereka, rasanya ada lapisan baru yang ditambahkan di pundakku.”
Ia tersenyum kecil, namun matanya tak ikut tersenyum.
“Lucu ya, aku belum selesai jadi diriku… tapi udah diminta jadi semua orang yang bukan aku.”
Ah, layar ponsel itu.. Tempat parade anak-anak sempurna yang memenangkan lomba, meraih beasiswa, menjadi kebanggaan keluarga.
Dan setiap anak-anak itu muncul, ia merasa ada satu lagi lapisan beban yang ditambahkan di pundaknya.
“Seperti langit yang terus dipaksa menyimpan matahari, padahal ia sedang ingin hujan.”
Aku menatapnya.. anak ini bukan lemah.
Ia hanya sedang terjebak di antara harapan yang mengikat dan keinginan untuk tumbuh sebagai dirinya sendiri.
“Bolehkah aku tumbuh seperti pohon?” tanyanya padaku.
“Pohon… yang tumbuh perlahan, punya akar sendiri, dan tidak dipaksa berbunga saat belum waktunya.”
Aku hanya mengangguk. Mencoba mengerti mereka yang kehabisan ruang untuk bernapas.. terlalu sibuk mengejar langit yang ditunjuk orang lain, hingga lupa cara melihat langitnya sendiri.
~Faritsul Mulatsam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar