Di tengah heningnya danau, hiduplah seekor ikan kecil yang gemar menatap ke atas setiap kali matahari bersinar. Baginya, cahaya yang menari-nari di permukaan air adalah pertanda bahwa langit masih memperhatikannya. Setiap pagi, ketika gelombang kecil menciptakan kilauan di atas sana, hatinya menghangat. Ia merasa dilihat, seolah-olah cahaya itu adalah balasan atas keberadaannya di dunia yang sunyi.
Namun, apa yang tak disadari ikan kecil itu adalah.. bahwa cahaya di permukaan bukan sesuatu yang memilih bersinar hanya untuknya. Ia hanya pantulan, hadir bukan karena ingin menyapa, tetapi karena hukum alam yang berjalan tanpa memihak.
Suatu hari, awan tebal datang, menutupi langit yang biasa memantulkan sinarnya ke danau. Ikan kecil itu menunggu, berharap cahaya itu akan kembali untuknya. Tapi hari berlalu, dan permukaan air tetap kelam. Ia mulai bertanya-tanya, apakah langit telah lupa padanya? Apakah ia tidak lagi cukup berarti hingga tak ada lagi cahaya yang menyapanya?
Namun, di dasar danau, seekor ikan tua yang bijak mendekatinya. “Cahaya itu bukan hadir untukmu, bukan pula menghilang darimu. Ia ada karena matahari bersinar, dan hilang ketika awan menghalangi. Kau tidak bisa mengukur arti dirimu dari sesuatu yang tidak pernah benar-benar menggenggammu.”
Ikan kecil itu terdiam. Perlahan, ia menyadari bahwa selama ini, ia menggantungkan kebahagiaannya pada sesuatu yang tak pernah bisa ia genggam. Dan di saat itu, ia belajar untuk berenang lebih dalam, ke tempat di mana cahaya bukan satu-satunya yang membuat hidupnya berarti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar