Senja menggantung pucat di cakrawala, sepekat rindu yang memilih diam dalam dada. Di antara gerimis yang perlahan jatuh, sesuatu yang tak kasat mata mengembara bersama angin. Tanpa rupa, namun bisiknya hinggap di sela-sela udara.
Ia mengembuskan napas pelan, membiarkan hangat paru-paru bertemu dengan udara yang basah. Ada bisik lirih yang melayang, melewati batas pandang, menelusup di antara awan-awan yang tengah sarat. Kata-kata yang tak pernah menemukan jalannya menuju bibir itu, akhirnya menguap, menjelma embun di ketinggian, menggumpal dalam diam, menunggu saatnya turun kembali ke bumi.
Akhirnya, kutitip doa yang selalu segar untukmu di udara. Naik ke awan, dan jatuh memelukmu sebagai hujan.
Entah di mana, di tempat yang tak tersentuh pandangnya, titik-titik dingin mulai jatuh menyapa. Langit terbuka, membiarkan butiran lembut membasahi tanah yang haus. Ia menengadahkan wajah, membiarkan tetes-tetes itu jatuh di pelupuk matanya.
Bibirnya melengkung pelan. Ada yang tiba bersama rinai itu, begitu akrab, menyelinap dari tempat yang jauh. Tiba-tiba menghangat, seperti jemari lembut tak terlihat yang menyingkirkan letih dari pundaknya.
Di kejauhan, seorang lain menatap langit yang sama, dengan debar tak bernama. Hujan tak pernah meminta nama, sebagaimana doa-doa yang dikirim tanpa ingin diketahui asalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar