Selasa, 25 Februari 2025

Tapi Kau Langit, Diatasnya Lagi.



Namamu dulu semilir bayu,
mengalun lirih di antara kalbu.
Kudengar syairnya dari kejauhan,
mengembus sejuk, menguar tenang. 

Lalu jarak merapat, tabir pun luruh,
kusibak cahaya yang kupuja jauh.
Engkau surya di ufuk tinggi,
sedang aku bayang di bumi sepi.

Di hatimu bunga mekar
Di hatiku ragu mengakar
Aku hanyalah angin yang bimbang,
Sedangkan kau langit tanpa beban.

Semakin kupahami kau,
semakin aku risau.
Bagai samudra yang kupelajari,
semakin dalam, semakin gentar diri.

Ingin melangkah, tapakku rapuh,
angin menggamit, detik menaruh.
Pergi, aku takut hilang,
tinggal, aku takut karam.

Lantas ke mana arus membawa?
Pada dermaga atau gulita?
Kubiarkan waktu yang menjala,
sementara aku bersandar pada sang Maha. 

Jumat, 21 Februari 2025

Kenapa Tidak Berterus Terang?




Langkahku ringan, sebab kau menuntunku dengan tenang. Langit di atas kita temaram, tapi tak pernah benar-benar gelap. seolah kau selalu tahu cara menyalakan cahaya kecil di sudut-sudut gelapku.

Namun, di suatu senja yang bisu, aku mulai melihatnya. lapisan-lapisan tipis yang mengelupas dari dinding percakapan kita. Kata-kata yang dulu terasa utuh kini berpendar samar, seperti pantulan cahaya di permukaan air yang tak sepenuhnya jernih. Aku ingin mempercayainya, ingin terus berjalan tanpa ragu. Tpi bayang-bayang yang kau sembunyikan mulai berbisik di sela angin.

Aku mendengar getar halus di nada suaramu, melihat gores samar dalam tatapanmu. Aku tahu, ada yang kau lindungi dariku. sebuah kebenaran yang kau simpan di genggamanmu, takut jika ia terlepas, ia akan melukaiku. 

Aku menghargai caramu meredam gemuruh yang mungkin akan mengguncangku. Tapi... bukankah lebih baik aku tahu langsung darimu, daripada mencarinya dalam bayangan?

Sebab kebohongan, meski kau sulam dengan kelembutan, tetaplah beban yang perlahan meretakkan pijakan. Aku lebih memilih luka yang nyata, daripada ketenangan yang hanya ilusi. Sebab meski pahit, kejujuran adalah satu-satunya yang benar-benar melegakan. bukan hanya untuk hati, tapi juga pikiran yang terlalu lama mencari makna di balik kata-kata.

Rabu, 19 Februari 2025

Ikan Kecil. Cahaya Langit.

Di tengah heningnya danau, hiduplah seekor ikan kecil yang gemar menatap ke atas setiap kali matahari bersinar. Baginya, cahaya yang menari-nari di permukaan air adalah pertanda bahwa langit masih memperhatikannya. Setiap pagi, ketika gelombang kecil menciptakan kilauan di atas sana, hatinya menghangat. Ia merasa dilihat, seolah-olah cahaya itu adalah balasan atas keberadaannya di dunia yang sunyi.

Namun, apa yang tak disadari ikan kecil itu adalah.. bahwa cahaya di permukaan bukan sesuatu yang memilih bersinar hanya untuknya. Ia hanya pantulan, hadir bukan karena ingin menyapa, tetapi karena hukum alam yang berjalan tanpa memihak.

Suatu hari, awan tebal datang, menutupi langit yang biasa memantulkan sinarnya ke danau. Ikan kecil itu menunggu, berharap cahaya itu akan kembali untuknya. Tapi hari berlalu, dan permukaan air tetap kelam. Ia mulai bertanya-tanya, apakah langit telah lupa padanya? Apakah ia tidak lagi cukup berarti hingga tak ada lagi cahaya yang menyapanya?

Namun, di dasar danau, seekor ikan tua yang bijak mendekatinya. “Cahaya itu bukan hadir untukmu, bukan pula menghilang darimu. Ia ada karena matahari bersinar, dan hilang ketika awan menghalangi. Kau tidak bisa mengukur arti dirimu dari sesuatu yang tidak pernah benar-benar menggenggammu.”

Ikan kecil itu terdiam. Perlahan, ia menyadari bahwa selama ini, ia menggantungkan kebahagiaannya pada sesuatu yang tak pernah bisa ia genggam. Dan di saat itu, ia belajar untuk berenang lebih dalam, ke tempat di mana cahaya bukan satu-satunya yang membuat hidupnya berarti.

Selasa, 18 Februari 2025

Kalau Disana Hujan, Tandanya Doaku Telah Sampai dengan Selamat.

 

Senja menggantung pucat di cakrawala, sepekat rindu yang memilih diam dalam dada. Di antara gerimis yang perlahan jatuh, sesuatu yang tak kasat mata mengembara bersama angin. Tanpa rupa, namun bisiknya hinggap di sela-sela udara. 

Ia mengembuskan napas pelan, membiarkan hangat paru-paru bertemu dengan udara yang basah. Ada bisik lirih yang melayang, melewati batas pandang, menelusup di antara awan-awan yang tengah sarat. Kata-kata yang tak pernah menemukan jalannya menuju bibir itu, akhirnya menguap, menjelma embun di ketinggian, menggumpal dalam diam, menunggu saatnya turun kembali ke bumi.

Akhirnya, kutitip doa yang selalu segar untukmu di udara. Naik ke awan, dan jatuh memelukmu sebagai hujan.

Entah di mana, di tempat yang tak tersentuh pandangnya, titik-titik dingin mulai jatuh menyapa. Langit terbuka, membiarkan butiran lembut membasahi tanah yang haus. Ia menengadahkan wajah, membiarkan tetes-tetes itu jatuh di pelupuk matanya.

Bibirnya melengkung pelan. Ada yang tiba bersama rinai itu, begitu akrab, menyelinap dari tempat yang jauh. Tiba-tiba menghangat, seperti jemari lembut tak terlihat yang menyingkirkan letih dari pundaknya.

Di kejauhan, seorang lain menatap langit yang sama, dengan debar tak bernama. Hujan tak pernah meminta nama, sebagaimana doa-doa yang dikirim tanpa ingin diketahui asalnya. 

Senin, 17 Februari 2025

Riak. Malam. Sunyi.

 


Di bawah langit yang legam, laut tampak tenang, menyatu dengan pekatnya malam. Angin mengusapnya perlahan, nyaris tak meninggalkan jejak, takut membangunkan arus yang terlelap di kedalaman. Namun jauh di dasarnya, gelombang berpilin liar, menghantam karang, menyimpan gemuruh yang enggan pecah di permukaan.

Laut itu, meski tampak sunyi, menggenggam badai kecil di dasarnya. Ombak ingin berlari ke tepian, menumpahkan riuh yang lama terkurung dalam gelap. Namun terlalu banyak yang jatuh tanpa kendali hanya akan membuat pesisir porak-poranda. Maka ia memilih jalan sunyi, menjadi samudra luas yang menampung segala tanpa perlu menampakkan gelora.

Aku menatapnya dalam gulita. Ada gelombang di sana, meski hanya tersirat samar dalam kilau cahaya yang terpantul di permukaan. Teguhnya ia meredam buih yang ingin meledak. Menjadi lautan yang membentang luas menjangkau cakrawala, meski di kedalamannya badai terus berbisik.

Laut itu, bukan sekadar perairan yang tunduk pada angin, ia samudera kokoh yang memilih menyembunyikan riak demi menjaga dunia tetap tenang dalam lelapnya.

Paus, Burung Hantu.

Di lautan yang luas, seekor paus selalu muncul ke permukaan setiap malam, menatap langit, mencari sosok yang dikaguminya.

Ia selalu menatap ke arah pohon itu, tempat di mana burung hantu bertengger. Pohon tinggi di pinggir tebing. biasanya, burung hantu diam menatap malam dengan mata tajam di balik kacamatanya.

Paus tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya. Ada sesuatu tentang burung hantu yang membuat paus selalu ingin melihat ke arah sana. Sesuatu yang tidak ia mengerti, tetapi cukup kuat untuk membuatnya terus kembali, terus berharap.

Di tepi tebing yang sama, ada bunga matahari yang diam-diam memperhatikan paus. Ia tidak berusaha menarik perhatian, hanya berdiri tegak, mengikuti arah sinar matahari, sambil mengagumi apa yang paus lakukan dari kejauhan.

Ia menyukai bagaimana cara paus menciptakan indahnya riak di permukaan laut, bagaimana cara paus mengembuskan napasnya membelah udara. Bagaimana cara paus bergerak, berenang, dan menjelajahi lautan.

Lalu, di suatu pagi yang cerah, secara tidak sengaja, paus berenang lebih dekat ke arah pantai, ia melihat sesuatu yang lain. Sesuatu yang berdiri tegak di tebing, kelopaknya terbuka menyambut sinar matahari. Terang. Hangat. Berbeda dari kegelapan yang biasa paus lihat di malam hari.

Paus penasaran. Ia mendekat, lalu kembali ke tempat itu keesokan harinya, dan hari-hari berikutnya.

Bunga matahari menyambut baik kehadiran paus. Awalnya, ia hanya mengagumi apa yang dilakukan paus hingga bisa menghasilkan karya-karya indah di lautan yang luas. Namun kini, semakin sering mereka bertemu, semakin banyak yang bunga matahari perhatikan.

Bagaimana cara paus menatap langit, bagaimana cara ia diam cukup lama sebelum menyelam kembali, bagaimana cara ia kembali lagi, seakan selalu membawa sesuatu dari tempat-tempat yang jauh.

Meskipun di sisi lain, bunga matahari tahu satu hal, bahwa paus masih sering muncul di malam hari, menatap langit, mencari burung hantu. 

Dan begitulah siklus itu terus berjalan

Bunga Matahari memperhatikan Paus, Paus memperhatikan Burung Hantu, dan Burung Hantu...... aku nggak tahu, tuh burung hantunya gimana. cerita (mungkin) bersambung. :)

17 Juni 2022/2023 - 17 Juni 2025.

  Anggi.. boleh nulis di blog hari ini kalau udah beres targetan nulis skripsinya yaa :) sementara gambarnya aja dulu sksk