Perang telah usai.
Setidaknya begitu kata orang ketika toga sudah dikenakan, nama dipanggil, dan tangan-tangan asing maupun akrab bergantian menyalami. Tetapi... bolehkan kalau aku menganggap bahwa.. perang baru saja dimulai?
Sejujurnya, aku tidak pernah menaruh prosesi wisuda dalam daftar mimpi. Tidak pernah menunggunya, tidak pernah membayangkan degupnya. Dari awal sudah punya rencana dengan diri sendiri, untuk tidak perlu ikut prosesi wisuda yang kukesankan "udah gitu doang?" saat didaulat menjadi tim dokumentasi wisuda kakak tingkat 2022 lalu. kurasa, tidak perlu menanti berjam-jam hanya untuk dipanggil sekian detik. Cukup kita menyewa fotografer atau berfoto bersama di studio foto dengan toga dan 'aksesoris' wisuda itu. senyum sederhana dengan keluarga, dan momen kecil yang bisa disimpan dalam bingkai. Bukankah yang terpenting adalah perjalanan, bukan pesta di ujungnya?
Namun, ada wajah-wajah yang membuatku berhenti keras kepala. Mamah, dengan suaranya yang khas,
“Mumpung masih ada rezeki usia, rezeki tenaga, rezeki waktu, rezeki biaya. Kalau nunggu wisuda S2 Anggi, siapa tau bukan mamah babeh lagi yang jadi prioritas tamu wisuda-nya.”
Kata-kata sederhana, yang tersemai sebagai doa. Aamiin. Semoga. Semoga kelak masih bisa melanjutkan pendidikan sebagaimana cita-cita yang seirama dengan harapan mamah. Tidak harus dalam waktu dekat, tapi semoga kelak masih diberi kesempatan untuk bisa melanjutkan menuntut ilmu. Aamiin.
Dan akhirnya, aku hadir. Duduk di barisan toga itu, bukan untuk ambisi pribadi, tapi untuk mengupayakan kebahagiaan mereka. Anehnya, justru di situlah aku belajar, bahwa kebahagiaan ternyata bukan hanya tentang apa yang kita rasakan, melainkan apa yang kita berikan. Ada rasa bahagia saat bisa memberi ruang bagi orang lain untuk turut merasa bangga, untuk ikut merasa berhasil.
Ada wajah-wajah yang tersenyum lebih lebar daripada senyumku sendiri. Ada mata yang memancarkan kesyukuran, karena melihat anak kecilnya, kini berdiri dengan gelar yang perjalanannya diiringi doa mereka.
Di balik satu hari itu, ada bertahun-tahun perjalanan yang tidak semua orang mengerti. Kuliah sambil bekerja, pun aktif dalam organisasi dan komunitas. Ada tugas yang menumpuk sementara deadline kerja tak bisa ditunda. Ada rapat organisasi yang harus tetap dihadiri meski tubuh minta istirahat. Ada momen-momen ketika aku merasa seolah hidupku hanya berputar dari satu tanggung jawab ke tanggung jawab lain tanpa sempat menghela napas panjang. Tapi mungkin di sanalah aku ditempa. Di sanalah aku belajar menakar mana yang harus diprioritaskan, mana yang bisa dilepaskan.
Setelah prosesi usai, yang tersisa hanyalah rasa lelah yang menumpuk. Capek bukan hanya soal fisik, tapi juga secara emosional. Ada riuh yang menyusul di belakang wisuda. ucapan-ucapan, notifikasi yang tak henti, ajakan foto, ekspektasi untuk segera membagikan kebahagiaan ke layar-layar kecil. Padahal.... belum sanggup. bahkan hingga kini belum mengunggah satu pun foto wisuda di feeds instagram itu. ah, lagian bukan suatu kewajiban dan keharusan, kan? Bukan juga tanda tidak bersyukur. biar, biar bernapas dulu. Boleh kok, untuk merayakannya dalam diam sebelum membiarkannya menjadi konsumsi umum.
Istirahat, juga, adalah bentuk syukur yang paling jujur. dan blog ini, menjadi salah satu ruang kecil untuk bisa bersembunyi. Di sini aku boleh bercerita panjang, tanpa harus mengukur jumlah suka atau komentar. Di sini aku bisa meletakkan lelah tanpa perlu merapikannya dulu. Di sini aku bisa menulis dengan jujur, bahwa aku bahagia, tapi juga letih, bahwa aku bersyukur, tapi juga butuh hening.
Dan di antara jeda ini, aku kembali teringat wajah-wajah yang tersenyum lebih bahagia dibanding senyumku. Mereka yang menyambut wisudaku lebih riang daripada diriku sendiri. Juga mereka yang tak kusebut tapi diam-diam melangitkan doa.
Terimakasih.
Terimakasih karena kalian lebih berbahagia atas pencapaian ini dibanding aku sendiri.
Terimakasih karena membuatku sadar, bahwa wisuda bukanlah tentang panggung megah, melainkan tentang rasa. Rasa memiliki. Rasa dicintai. Rasa diberi alasan untuk terus melangkah.
Jeda bukan tanda kemunduran. Istirahat dari sosial media bukan berarti menolak merayakan, melainkan memilih caraku sendiri dalam merayakan. Aku boleh jika hanya ingin menyimpan foto itu untuk diri sendiri, aku tetap boleh untuk menuliskan syukur itu, untuk memeluk bangga itu, lalu perlahan melangkah lagi ketika hati sudah siap.
Dan jika perang baru saja dimulai,
maka aku akan menapakinya dengan bekal paling berharga,
doa dan cinta dari kalian,
orang-orang tersayang.
ditulis dengan penuh syukur dan kasih,
Anggi Restian Zahra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar