Minggu, 31 Agustus 2025

Teruntuk; Biru Laut Wibisana.

yang suaranya tak pernah padam.


Hai, Laut.
Bagaimana kabarmu disana?
Apakah ombak masih setia menyampaikan kisah dari daratan ini?
Apakah ikan-ikan yang berenang di lautan membisikkan padamu kabar tentang negeri yang dulu kau cintai dengan segenap jiwa raga ini?
Jika benar suara kami sampai padamu lewat arus yang tak pernah diam, maka kau pasti tau, Laut. Bahwa Indonesia hari ini tak jauh berbeda dengan Indonesia yang dulu membuatmu memilih jalan paling berani.

Sudah puluhan tahun sejak engkau dipaksa bungkam, tapi negeri ini masih saja menyimpan gelap yang sama, Laut.
Dulu kalian diculik diam-diam, dibawa ke lorong tak berpintu, disiksa, lalu dihilangkan agar bangsa ini lupa. Seolah mereka ingin membuat sejarahmu berhenti di catatan-catatan gelap tak terbaca.

Namun apa bedanya dengan hari ini, Laut?
Jika dulu kegelapan itu sembunyi-sembunyi, kini mereka melakukannya terang-terangan.
Seorang anak bangsa dilindas truk aparat di depan massa, rakyat dipukul hingga berdarah di jalan raya, ditangkap di ruang publik dengan kamera yang merekam segalanya. Tidak ada lagi malu. Tidak ada lagi usaha menutupi. Kekerasan dipertontonkan seakan ingin berkata,
Lihat, kami bisa lakukan apa saja. Siapa pun bisa kami hancurkan, bahkan di depan matamu.”

Ironis sekali, Laut.
Reformasi yang dulu kalian perjuangkan kini terasa seperti panggung sandiwara. Demokrasi hanya jadi kata indah di baligho, tapi sudah lama kehilangan ruhnya. Undang-undang disusun untuk melanggengkan kekuasaan, bukan untuk melindungi rakyat. Hukum bekerja dengan cekatan jika menyangkut penguasa, tapi menjadi lumpuh begitu menyentuh rakyat kecil.

Aku ingin marah, Laut. Tapi entah pada siapa. Pada penguasa yang terus mengulang pola lama? Pada rakyat yang mudah sekali lupa? Atau pada diriku sendiri, yang hanya mampu menonton dari kejauhan, berteriak sebatas layar? Bahkan menulis pun hanya di blog pribadi yang pembacanya hanya 10-30 orang. 

Kenyataannya, kami hidup di zaman di mana rasa takut menjelma dalam bentuk baru, Laut.
Bukan hanya takut ditangkap, tapi juga takut dicibir, takut dilabeli, takut kehilangan pekerjaan hanya karena berani berbeda suara.
Penjara kini tak selalu bertembok besi, ia bisa berupa stigma yang ditempelkan di dahi seseorang agar orang lain menjauh darinya.

Aku terkadang bertanya-tanya, 
Apa artinya perjuangan jika selalu dihadang dengan cara sekejam ini?
Apa gunanya reformasi, jika yang tumbang hanyalah sosok, sementara yang hidup tetaplah tirani? 
Apakah kalian dulu pernah merasa putus asa, seperti yang kurasakan kini?
Atau justru rasa putus asa itu yang membuat kalian menjadi semakin berani?

Meski di sisi lain, di tengah semua kegelapan ini, masih ada bara kecil yang terus menyala. Aku melihat mereka yang tidak takut menulis, meski tau tulisannya merupakan ancaman bagi diri mereka sendiri. Aku mendengar suara-suara lantang di jalanan, meski pengeras suara mereka lebih kecil dari gas air mata yang dihadapkan pada mereka. Aku menyaksikan kamera-kamera sederhana yang merekam kebenaran, meski tau rekaman itu bisa dipatahkan, tapi gema kebenarannya selalu menemukan jalan pulang. 

Dan di wajah-wajah itulah aku melihat bayanganmu, Laut.
Bayangan seseorang yang tau benar, betapa mahal harga dari sebuah suara.
Bayangan seseorang yang memilih jalan gelap, demi bangsa ini bisa merasakan terang.

Aku takut, Laut.
Takut jika semua ini hanya akan jadi siklus panjang.
Satu generasi bersuara, lalu dibungkam, lalu dilupakan.
Bukankah menyakitkan?
Bukan hanya hilang jasadmu, tapi juga hilang ingatan tentangmu.
Seakan perjuanganmu hanyalah arsip berdebu di rak-rak perpustakaan, yang jarang disentuh kecuali oleh segelintir pencari kebenaran.

Namun mungkin di situlah tugasku, Laut, tugas kami.
Menjaga agar nama dan kisahmu tak hilang. Menjaga agar keberanianmu tidak berhenti sebagai mitos, tapi menjadi nyawa yang terus hidup dalam dada. Menjaga agar suara yang kau titipkan tak padam, meski angin deras berusaha memadamkannya.

Seandainya engkau masih hidup, Laut,
Apa yang akan kau katakan tentang negeri ini?
Apakah engkau akan kembali turun ke jalan, menggenggam spanduk dan berteriak lantang, meski tau resikonya?
Atau engkau akan duduk di sampingku, mengingatkan dengan suara tenang, bahwa setiap generasi punya jalannya sendiri untuk melawan?

Aku tidak tau, Laut.
Yang kutau, aku merindukan keberanianmu. Dan juga, merindukan Indonesia yang kamu, --kita-- impikan.

Laut, 
Salam dari kami,
yang masih berusaha menjaga bara itu, 
meski angin terus mencoba memadamkannya.

Anggi Restian Zahra,
Bandung, 31 Agustus 2025.

13 komentar:

  1. Menyala Bu Anggi🔥

    BalasHapus
  2. Mantap tulisan immawati bandung joss pokok e

    BalasHapus
  3. Apik bu anggi, matilah engkau mati kau akan lahir berkali kali🔥

    BalasHapus
  4. Terima kasih kawan-kawan, btw yg komennya ga anonim akan mendapatkan dorpres bengbeng satu picis, wksk

    BalasHapus
  5. Ekspresiku saat membaca 🥺🥺🥺

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lho beneran akhirnya ada yg ga anonim komennya😭🙏🏻 bengbengnya mau dikirim kemana kak😭🙏🏻

      Hapus
  6. Masyaallah sedih banget bacanya,, Semangatt para penerus bangsa 🔥

    BalasHapus
  7. kasih paham bu Anggi!

    BalasHapus
  8. Anjayy aktivis kita kembali bersuara🔥

    BalasHapus
    Balasan
    1. gaboleh unjay anjay ya nak, beristighfarlah☺️🙏🏻🫵🏻

      Hapus

من جمال اللغة العربية أنالهاحتى أنالها